Senin, 05 September 2016

Tugas Bahasa Indonesia: Maisie, si Gadis Nomor Satu.

Ia Maisie Andrea Vimana. Seorang gadis SMA yang tumbuh dengan segala harta yang mengelilinginya. Bukan merupakan sesuatu yang perlu dipertanyakan, Ayah Maisie merupakan seorang direktur utama sebuah perusahaan makanan cepat saji, yang membuat beliau semakin hari semakin terlihat tambun akibat terlalu banyak mencoba berbagai makanan cepat saji perusahaannya.

Sejak kecil, Maisie selalu merasa kesepian dirumahnya sendiri. Ayahnya tentu saja lebih sering berada di ruangan kantornya ketimbang berada dirumah, sementara Ibunya sibuk berkumpul dan mencoba berbagai macam kafe baru bersama teman-teman sosialitanya. Hari-hari Maisie hanya ditemani oleh asisten-asisten rumah tangga dirumahnya, tidak jarang ia tertidur saat malam ditemani asisten rumah tangganya, karena orang tuanya belum juga pulang. Maisie pun tumbuh menjadi sosok yang membenci keluarganya sendiri. Baginya, materi dan semua kenyamanan fasilitas mewah yang diberikan oleh orang tua nya tidak bisa menutupi keadaan, bahwa Maisie hanya membutuhkan orang tua nya ada di sisinya.

Di sekolah, Maisie dikenal sebagai siswi yang angkuh, suka membuli dan pemilih teman. Para staf sekolah dan guru-guru sudah beberapa kali menyatakan protes atas kelakuan Maisie yang seenaknya, namun pihak yayasan tidak bisa melakukan apa-apa mengingat prestasi Maisie yang sama banyaknya dengan catatan kenakalannya, dan yang terpenting sekolah tentu tidak bisa melakukan apa-apa mengingat orang tua Maisie adalah donatur utama sekolah mereka, yang berarti tanpa Maisie maka sekolah mereka juga akan gulung tikar.

Siang hari itu di SMA Diponegoro, Maisie tengah duduk di taman sekolahnya bersama teman-temannya, Kendra dan Jemima. Sembari tangannya mengipas-ngipas, Maisie kembali berdecak untuk yang kesepuluh kalinya, "Duh! Kenapa sih, hari ini panas banget?"

"Iya, ya. Panas banget hari ini." timpal Kendra yang diikuti anggukan Jemima. "Mai, kamu udah dengar kabar katanya ada anak baru di kelas dua belas IPA empat?" tanya Jemima sambil sesekali menyibak rambut sebahunya. Maisie menengok, "Belum, tuh. Memangnya ada?" jawab Maisie. Kali ini, Kendra yang mengangguk mengiyakan, "Katanya sih lagi dibangga-banggain sama guru." ucapnya.

"Dengar-dengar sih katanya juara dua Olimpiade tingkat Internasional di New York akhir bulan Desember lalu. Dia sekolah disini karena beasiswa dari olimpiadenya, ayahnya cuma seorang pengangguran katanya." jelas Jemima, membuat Maisie berdecih sinis. "Halah, itu bisa-bisaan dia aja kali." balas Maisie santai.

Kendra baru akan menjawab bahwa perkataan Maisie santai, saat Maisie kembali berbicara, "Duh, kalian berdua. Aku juga bisa kali ngaku-ngaku kalau aku menang olimpiade di New York, tapi nyatanya aku cuman ikut olimpiade di Cibinong." ucapnya malas sembari mendelik. "Iya sih." balas Kendra pasrah, memilih mengalah mengingat sifat 'ingin selalu benar'nya Maisie.

"Aku jadi penasaran yang mana anak baru itu." kata Maisie sembari celingak-celinguk sekiranya dapat menemukan anak baru itu di lorong sekolah yang sedang ramai. Mata Maisie menyipit saat melihat seorang gadis cantik menggunakan kacamata yang terlihat asing di mata Maisie, gadis itu sedang berusaha membelah keramaian yang mengerumuninya.

"Hei, anak baru!" panggil Maisie ketika gadis tersebut melewati Maisie dan teman-temannya. Gadis yang dipanggilnya menoleh, "Kamu manggil aku?" tanya gadis itu, seketika merasa bodoh, jelas-jelas hanya dia anak baru disekolah hari ini. Maisie memutar bola matanya kesal, "Sini. Aku mau ngomong." perintah Maisie.

"Ada apa?" tanya gadis tadi. "Aku Maisie, juara satu olimpiade seprovinsi, juga bulan depan aku ada olimpiade se-Indonesia. Kamu namanya siapa?" ucap Maisie dengan nada ramah yang terkesan dibuat-buat.

Gadis tersebut mengulurkan tangannya, "Aku Reina. Wah, selamat ya. Semoga berhasil ya, olimpiadenya." balas Reina sambil tersenyum manis, membuat Maisie semakin geram. "Kalau begitu, aku permisi dulu ya, Maisie. Aku harus ke ruangan tata usaha, mau ngambil seragam." pamit Reina lalu menyunggingkan senyumnya, menunjukkan giginya yang rapih dan putih.

Reina baru akan beranjak ketika Maisie menahan pergelangan tangannya, lalu berbisik ditelinga Reina, "Inget, Reina. Disekolah ini hanya boleh aku yang berprestasi. Jadi kamu jangan sok pintar disini." bisik Maisie tajam, yang hanya dibalas dengan anggukan dan senyuman oleh Reina.

Maisie menghentak-hentakkan kakinya kesal seperginya Reina, "Kenapa sih, anak baru itu gak takut sama aku!?" teriaknya kesal. Kendra dan Jemima yang sedari tadi hanya menjadi penonton pun memilih diam, takut Maisie malah marah dengan mereka.

"Pokoknya, hanya boleh aku yang nomor satu disini. Gak boleh orang lain!" ucap Maisie. Lalu menyadari sedari tadi kedua temannya diam tidak berkutik, "Kalian kenapa diam aja?!" bentak Maisie kesal.

"Euh—enggak apa-apa, Mai. Aku cuman lagi sariawan aja." balas Jemima takut-takut. "Aku juga, Mai." timbrung Kendra sambil mengangguk-nganggukan kepalanya, berusaha meyakinkan Maisie.

Maisie baru akan mengomel lagi, ketika bel sekolah mereka berbunyi, tanda bahwa pelajaran Kimia akan segera dimulai, dan mereka tidak ingin terlambat masuk kelas dan berakhir berdiri didepan kelas sampai pelajaran selesai.

Maisie duduk dikursi paling depan, diikuti teman-temannya yang duduk dibarisan kedua belakangnya. Maisie duduk sendirian karena ia menganggap duduk berdua hanya mempersempit ruang untuk buku dan peralatan belajarnya, padahal bu Soraya sudah beberapa kali mengingatkan Maisie untuk duduk berdua.

"Selamat siang, anak-anak." sapa Bu Soraya ketika memasuki kelas. "Siang, bu." balas kelas serentak. "Ibu tidak tahu apakah kalian sudah tahu atau belum, tapi ibu akan menceritakan seorang teman baru kalian yang sekiranya akan membuat semangat belajar kalian semakin tinggi." kata Bu Soraya. "Teman kalian telah berhasil memenangkan olimpiade di New York, kalian harus punya semangat belajar seperti dia. Kalau dia yang perempuan saja bisa, pasti kalian jug—." Ucapan Bu Soraya terpotong ketika Maisie berdiri dan menyelak ucapannya tidak sopan.

"Ada apa sih bu sama guru-guru disekolah ini? Kenapa kalian bangga banget sama Reina? Dia tuh cuman orang miskin yang beruntung karena bisa menang juara dua olimpiade. Gak ada yang spesial bu dari Reina!" teriak Maisie marah, seisi kelas diam dan memperhatikan Maisie yang berapi-api.

"Maisie! Ibu tidak suka mulut kurang ajar kamu! Memangnya kenapa kalau Reina tidak mampu? Dia punya keluarga yang cukup membahagiakan dia walaupun harta mereka tidak bergelimpangan seperti kamu!" bentak Bu Soraya. "Sekarang, keluar kamu dari kelas saya! Ruang hukuman, sekarang juga!" lanjut Bu Soraya.

"Oh, dengan senang hati saya berada di ruang hukuman daripada saya mendengarkan ocehan penuh bangga orang-orang tentang Reina. Dan saya bisa pastikan, bu. Kalau Reina akan saya buat tidak akan betah bersekolah disini!" kata Maisie sambil melipat tangannya di dada, lalu berbalik pergi. Namun sebelum Maisie sempat melewati pintu kelas, suara bu Soraya kembali terdengar, "Dan ibu akan pastikan kamu gagal mengikuti olimpiade provinsi tahun depan, dan Reina akan menggantikan posisimu kalau kamu berani mengganggu Reina." ancam Bu Soraya membuat Maisie kembali berbalik dengan wajah emosinya.

"Sekolah ini menyebalkan!" teriak Maisie lalu berlari ke taman belakang sekolah, sambil sesekali menyeka air matanya kesal. Maisie pun duduk di hamparan rumput sambil menangis tersedu-sedu.

"Maaf ya, sudah bikin kamu kesal." ucap seseorang tiba-tiba dari belakang Maisie. Maisie menoleh dan melotot, "Mau apa kamu kesini? Bukannya kamu sudah puas merebut perhatian seisi sekolah? Hah?!"  bentak Maisie ketika melihat Reina di belakangnya.

"Aku kesini untuk minta maaf, Mai." tutur Reina sambil menunduk, lalu duduk disebelah Mai, "Maaf kalau kehadiranku disekolah ini mungkin membuat kamu kesal atau terganggu." lanjutnya.

Maisie hanya terdiam, terlalu malas untuk memberhentikan tangisnya. "Aku mati-matian mendapatkan olimpiade ini, sedangkan kamu datang seenaknya menyelak posisiku dan berani-beraninya cari perhatian sama guru!" cecar Maisie sambil terus menangis.

Reina tersenyum, "Maisie. Kamu beruntung. Kamu hidup berkecukupan, ayah dan ibumu selalu ada di sisimu setiap saat—" ucapan Reina terpotong ketika Maisie menoleh kasar.

"Siapa bilang orangtua ku selalu ada disisiku setiap saat?!" bentak Maisie membuat Reina sedikit tersentak, rupanya ia salah bicara. "Yang mereka pikirkan hanya harta dan harta! Mereka tidak pernah memikirkan betapa kesepiannya aku sejak aku kecil!" lanjut Maisie dengan sinis.

Reina mendekatkan dirinya ke tempat Maisie, "Mai, kapanpun kamu merasa kesepian, kamu kan bisa mengajak kedua sahabatmu bermain." saran Reina. Maisie tertawa sinis, "Sahabat? Mereka hanya mengincar hartaku!" balasnya lagi.

"Astagfirullah, Maisie. Kamu tidak boleh suudzon seperti itu, Mai." ucap Reina membuat Maisie terdiam. "Aku yakin mereka nggak seperti yang kamu katakan. Mereka tulus, Mai." lanjut Reina.

"Tau apa kamu tentang hidupku." balas Maisie sambil berdecak sinis. Reina tersenyum kecil, "Aku tau juga tau rasanya kesepian, Mai." tutur Reina.

"Ibuku meninggal saat aku umur enam tahun, saat aku lagi semangat-semangatnya akan masuk sekolah dasar. Ibuku meninggal karena penyakit tumor ganas yang menggerogoti otaknya, dan keluargaku tidak punya biaya untuk membayar operasinya." cerita Reina, matanya terlihat berkaca-kaca.

"Semenjak saat itu, Ayah jarang pulang demi menghidupi aku. Aku sendirian dirumah, tidak ada pembantu, hari-hariku kuisi dengan belajar dan beribadah, juga mendoakan almarhumah ibuku."  tutur Reina, setetes airmatanya jatuh. Maisie mau tidak mau merasa iba dengan cerita Reina.

"Dan teman-temanku pun seakan menghilang ditelan bumi, mereka tidak ada yang datang saat ibu meninggal, tidak ada yang membawakan materi dan catatan selama aku mengurus pemakaman ibu." lanjut Reina.

"Kamu beruntung, Mai. Kamu bisa bersekolah tanpa harus mati-matian mendapatkan beasiswa, kamu dianugerahi otak yang pintar, hidupmu berkecukupan, orangtuamu walaupun jarang berada dirumah, setidaknya mereka masih lengkap." ucap Reina sambil tersenyum, tangannya membelai punggung Maisie. "Dan jangan lupa, kamu juga punya Kendra dan Jemima yang selalu ada disisimu setiap saat." lanjutnya.

Maisie mengangguk, lalu memeluk Reina erat, "Terimakasih, Rei. Maafkan aku." ucap Maisie tulus. Maisie pun sadar bahwa selama ini ia harus bersyukur akan keadaan hidupnya, diluar sana banyak orang yang harus bekerja keras dengan peluh menetes demi mendapatkan sebungkus nasi dan tempe goreng, sedangkan Maisie hanya tinggal meminta asisten rumahnya untuk memasakkannya makanan, dan Maisie pun sadar bahwa kemenangan bukanlah segalanya.

Maisie pun berhasil memenangkan olimpiade mewakili provinsinya, dan lolos ke babak selanjutnya, olimpiade tingkat internasional. Maisie tahu orang-orang yang akan ia peluk untuk berbagi kebahagiaannya selain kedua orangtuanya.

Tentu saja, Reina, Kendra dan Jemima!